Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc hadir menjadi narasumber dalam Program Talkshow Banua Bicara TVRI Kalsel. Program tersebut ditayangkan secara langsung di channel televisi dan Youtube TVRI Kalsel pada Selasa (10/5/2022) dengan judul “Talkshow Wawasan Kebangsaan”. Dalam talkshow tersebut, Rektor menjadi narasumber bersama Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANNAS) Andi Widjajanto dan Sekdaprov. Kalsel Ir. Roy Rizali Anwar, ST., MT. Dipandu oleh Ratna Sari Dewi sebagai host, talkshow tersebut membahas mengenai tantangan dan strategi dalam memberikan ketahanan dan wawasan kebangsaan kepada generasi muda Indonesia.
Rektor menyebutkan bahwa Indonesia merupakan bangsa yang kuat, ‘tahan banting’, dan tidak mudah tercerai-berai. “Berbagai peristiwa sejarah terjadi menunjukkan kita tetap dapat bersatu,” ucap Rektor. Namun, meski demikian menurut Prof. Sutarto, diperlukan usaha untuk membangkitkan kembali nilai-nilai luhur Indonesia yang sudah mulai luntur karena kemajuan teknologi dan pengaruh globalisasi. Selain itu, Beliau juga menilai perlu ditingkatkan kegiatan dan sosialisasi untuk memberantas generasi muda dari pemikiran ekstremis dan radikal.
Prof. Sutarto menuturkan bahwa salah satu upaya yang bisa ditempuh di antaranya dengan mengajarkan nilai-nilai sejarah dan menanamkan nilai-nilai Pancasila. Mulai dari gagasan, proses, hingga Pancasila yang dimiliki sekarang, dinilai Rektor ULM sebagai cerminan keluhuran bangsa Indonesia dalam menghadapi keberagaman yang dimiliki. Selain itu, Rektor juga menyebutkan perlunya bangsa Indonesia memiliki ‘musuh bersama’ untuk bisa bersatu.
“Dulu musuh bersama kita penjajah, sekarang musuh kita adalah kemiskinan, keterbelakangan, dan kesenjangan sosial,” ucap Rektor. Upaya pemerintah dalam menanamkan wawasan kebangsaan melalui pendidikan tinggi, salah satunya disebutkan Rektor dengan dilaksanakannya program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka. Kebijakan MBKM mempersiapkan mahasiswa untuk lebih siap menghadapi dunia kerja, mendorong mereka menjadi entrepreneur hingga dapat menciptakan lapangan kerja. “Kesenjangan sosial merupakan masalah penting. Ketidakpuasan akan menimbulkan kebencian. Pendidikan merupakan instrumen yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan tersebut,” tutur Rektor.
Rektor juga mengapresiasi diselenggarakannya talkshow ini bersama Lemhannas dan pemprov Kalsel. Dengan diselenggarakannya talkshow ini akan membuat masyarakat lebih mengenal Lemhannas beserta perannya terhadap negara dan masyarakat.
Hari Rabu adalah hari kesayangan saya. Tidak tahu persis mengapa atau bermula bagaimana. Seperti juga angka sembilan. Yang biasanya saya tunjuk ketika diberi pilihan. Mungkin karena ini juga nomor kesayangan pesepak bola Italia, Vincenzo Montella (love you!).
Dulu, di depan layar televisi, saya biasa mencari kaus bernomor punggung sembilan. Nomor sembilan biasanya merentangkan kedua tangan lebar-lebar sambil berlari untuk merayakan gawang lawan yang jebol. Seperti pesawat terbang.
Sewaktu Batistuta datang ke AS Roma dan meminta nomor punggung 9, Montella menolaknya mentah-mentah. Batistuta harus puas dengan nomor punggung 18. Sayangnya, ketika Montella kembali ke AS Roma setelah dipinjamkan ke Sampdoria, nomor 9-nya sudah keburu disandang Vučinić. Jadi Montella pun mengambil nomor punggung Vučinić: 23.
Terlepas dari itu semua, hari ini adalah hari Rabu tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan. Sejak bangun tidur tadi pagi, saya sudah tahu bahwa hari ini akan istimewa. Tidak perlu ‘sempurna’, tetapi pasti akan ‘istimewa’. Rasanya seperti firasat.
Kebetulan, beberapa hari lalu, saya dikontak Lisa Siregar, seorang jurnalis dari Jakarta Globe. Kami berjumpa di Twitter karena sama-sama punya ketertarikan terhadap proyek ‘A Day on the Planet‘: merekam momen pribadi orang-orang di seluruh dunia pada tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan, dalam satu halaman A4, untuk kemudian dibukukan.
Salah satu pertanyaan Lisa kepada saya adalah: “Are you planning to do something special on September 9?”
Saya katakan kepada Lisa, bahwa saya belum punya rencana apa-apa. Saya juga masih belum tahu apakah saya perlu melakukan sesuatu yang ‘spesial’ or to just let the moment flows naturally.
Ternyata saya memilih yang belakangan.
Saya tahu bahwa hari ini akan menjadi istimewa ketika saya menemukan sebuah novel di Amazon. Judulnya The Greatest Thing After Sliced Bread. Penulisnya Dan Robertson.
Pada salah satu halamannya, Morris Bird III yang berusia sembilan tahun bercakap-cakap dengan anak perempuan yang ditaksirnya, Suzanne Wysocki.
“I don’t think much about dying.”
— “You should,” said Suzanne.
— “Because it’s going to happen to you.”
Kalimat ini mengendap di benak saya hingga siang tadi. Saya dan kawan saya baru saja pulang dari sebuah rapat. Begitu mobil kami melewati apotik Senopati, kawan saya memekik dan berkata,”Aduh, gue nggak tega lihat orang tua itu. He looks exactly like my father when he’s dying…”
Saya yang duduk menghadap kawan saya dan membelakangi jendela, tidak sempat melihat dengan jelas. Rupanya ada seorang kakek yang terduduk di pinggiran trotoar. Dan kawan saya menggambarkannya seekstrim itu. He looks exactly like my father when he’s dying.
Mengingat salah seorang rekan kami di kantor bertempat tinggal tak jauh dari apotik Senopati, kawan saya itu pun berniat ‘menitipkan’ sesuatu untuk si kakek. Apa saja. “Seharusnya orang setua itu ada yang ngurusin,” ujar kawan saya, sedih bercampur geram.
Dying. Sudah dua kali hari ini.
Saya ingat, beberapa waktu lalu, saya dan seorang sahabat lama berbincang mengenai sepuluh hal yang ingin kami lakukan sebelum kami meninggal dunia. Kami sama-sama berhenti di nomor lima.
Tepatnya, saya sempat berhenti di nomor lima, kemudian memaksakan diri menulis sesuatu di urutan 6.
Saya tidak yakin saya sungguh-sungguh menginginkannya. Saya tuliskan sebaris kalimat hanya untuk mengisi titik-titiknya.
Hari ini, saya memandangi daftar permohonan itu kembali. Memandangi urutan 1 sampai 5. Urutan nomor 6 yang ‘terpaksa’. Dan urutan 7 sampai 10 yang tidak terisi. Saya tak bisa ungkapkan di sini apa saja permohonan saya, tetapi secara acak melibatkan kata-kata berikut: aurora, kafe di negeri yang jauh, sebuah novel, pesawat tempur, musim gugur, dan sebuah perjalanan.
Lalu saya melihat daftar permohonan sahabat saya di atasnya. Dengan nomor 6 sampai 10 yang masih berupa titik-titik. Dan saya melihatnya. Saya mengerti.
Ini seperti sebuah aha-moment, atau apalah namanya. Ternyata 10 permohonan memang terlalu banyak jika hanya ditujukan untuk diri sendiri.
Mungkin sebenarnya saya cukup meminta dua atau tiga untuk saya pribadi, lalu mengalokasikan yang empat sampai sepuluh untuk orang lain. (Tak lupa menyisakan satu dari tujuh untuk binatang-binatang. Dan satu dari enam untuk tumbuh-tumbuhan.)
Dan jika titik-titiknya tetap tidak terisi juga, biarkan saja. Sometimes, we don’t really need to fill in the dots. Mungkin memang belum waktunya. Sebagaimana cinta yang belum saatnya: terkadang hanya bisa mengisi sela-sela jari, dan bukan sela-sela hati.
Dan memang tidak ada hari yang lebih istimewa dari hari-hari ketika kita bisa mempelajari sesuatu yang baru, tentang diri sendiri.
Indonesiabaik.id - Di tahun 2017 ini, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau yang biasa disebut dengan Polhukam membuktikan peranan pentingnya dalam membentuk bangsa yang kuat dengan masyarakatnya yang rukun.
Dalam bidang politik, Polhukam berhasil memberikan pencapaian yang memuaskan. Apa saja itu?